Membangun Diplomasi, Anies Baswedan dan Jejak Kunjungan Internasional Terbaru

by Penulis, 10 Nov 2025
Tahun 2025 mencatat langkah-langkah diplomasi yang makin terlihat dari sosok Anies Baswedan meskipun tidak dalam kapasitas resmi pemerintahan saat ini yang mengeksplorasi arena internasional dengan aktor pendidikan, diaspora, dan masyarakat global. Dalam artikel ini kita telusuri berbagai jejak ke luar negeri atau forum global yang menunjukkan bagaimana Anies mencoba mengartikulasikan peran Indonesia di panggung internasional.

Pada Februari 2025, Anies menyebut bahwa dirinya baru kembali dari kunjungan ke Yordania, dan dalam kesempatan tersebut ia menyampaikan bahwa komunitas pengungsi Palestina sangat menghormati Indonesia. Kisah ini menarik karena memberi gambaran bahwa diplomasi tak hanya “diplomasi kenegaraan” formal, tetapi juga “soft diplomacy” melalui hubungan kemanusiaan, pengakuan terhadap bangsa Indonesia oleh komunitas diaspora atau pengungsi, dan bagaimana nama Indonesia bisa dijalin melalui empati global. Melalui kunjungan ini, Anies menegaskan bahwa Indonesia dapat memainkan peran moral dan kemanusiaan yang tidak sekadar formal tapi bersentuhan dengan kehidupan nyata masyarakat di luar negeri.

Lebih lanjut, pada Juni 2025 Anies hadir sebagai pembicara kunci di acara yang digelar di National Yunlin University of Science and Technology, Taiwan. Di sana ia menyampaikan bahwa diaspora Indonesia di luar negeri memiliki misi penting: memperkenalkan Indonesia di kancah internasional dan membawa pengalaman untuk pembangunan di dalam negeri. Beberapa hal penting dari kunjungan itu antara lain dorongan agar pelajar dan pekerja Indonesia di luar negeri tak sekadar “berada di luar”, tetapi aktif membangun jaringan, mengembangkan ilmu, dan membawa nilai itu kembali ke tanah air. Ia menekankan bahwa keberhasilan diaspora bukan hanya soal finansial, tetapi juga soal kontribusi sosial dan jejaring antarbangsa. Media Taiwan menyoroti bahwa Anies menyebut “internasional” bukan berarti asing tanpa kaitan, tetapi antar bangsa  menunjukkan perspektif yang lebih luas dari diplomasi. Langkah ini memperlihatkan bahwa Anies melihat diplomasi bukan hanya di arena kenegaraan, tetapi juga melalui pendidikan, mobilitas manusia, dan koneksi lintas budaya.

Selain kunjungan fisik, pada Juli 2025 Anies menyampaikan kritik di forum nasional bahwa Indonesia kerap absen langsung dalam pertemuan tingkat tinggi seperti sidang umum PBB di mana kepala negara tak hadir dan hanya diwakili menteri. Dalam pidato tersebut, Anies mengatakan bahwa posisi Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara seharusnya diikuti dengan kehadiran aktif di forum global. Ia mencontohkan bahwa jika kita tidak hadir, maka kita seperti “kampung besar tapi tidak datang rapat kampungnya”. Pernyataan ini menegaskan bahwa diplomasi bukan hanya soal perjalanan ke luar negeri, tetapi soal sikap, kehadiran, dan pengakuan global.

Mengapa jejak-jejak ini penting? Dengan tampil di forum akademik internasional seperti di Taiwan, berbicara dengan diaspora, atau menjadi bagian dari dialog kemanusiaan di Yordania dan Palestina, Anies membantu memperkuat citra bahwa Indonesia bukan hanya “penonton” global, tetapi punya suara dan peran. Diplomasi yang dilakukan juga menunjukkan sisi manusiawi: tidak melulu tentang perjanjian dan pertemuan antar pejabat, tetapi bisa dilakukan melalui komunitas, pendidikan, dan kemanusiaan.

Ajakan Anies untuk memperkuat jejaring antar negara melalui pertukaran pelajar, relawan muda, dan eksperimen lintas budaya di kawasan ASEAN juga memperlihatkan bahwa diplomasi masa depan akan lebih banyak dijalankan melalui manusia, bukan sekadar institusi. Ia menekankan pentingnya pertukaran nilai, pengetahuan, dan pengalaman yang membentuk solidaritas antarbangsa. Kritiknya terhadap absennya kehadiran Indonesia di forum global pun menjadi refleksi bahwa diplomasi hendaknya diiringi komitmen kuat dari dalam negeri, agar Indonesia benar-benar diakui sebagai kekuatan moral dan strategis di dunia internasional.

Kegiatan-kegiatan internasional ini juga memperlihatkan sinergi antara agenda domestik dan global. Saat Anies berbicara tentang pendidikan, diaspora, dan budaya, ia sebenarnya sedang membangun jembatan antara isu nasional dan kepentingan internasional. Inilah bentuk nyata dari “soft power” Indonesia menggunakan kekuatan sosial, budaya, dan moral untuk mempengaruhi dan berkontribusi dalam dunia global yang saling terhubung.

Tentu saja, diplomasi semacam ini masih menghadapi tantangan. Kunjungan dan keterlibatan internasional perlu diiringi tindakan konkret agar tidak berhenti sebagai simbolis. Diplomasi dengan komunitas diaspora juga memerlukan keberlanjutan agar jaringan yang terbentuk tidak terputus. Sementara itu, kritik terhadap kebijakan luar negeri harus disertai solusi dan kolaborasi yang membangun, agar menghasilkan arah diplomasi yang konsisten dan produktif.

Namun terlepas dari itu, kegiatan internasional yang dilakukan Anies Baswedan sepanjang tahun 2025 memperlihatkan bahwa diplomasi Indonesia dapat mengambil bentuk yang lebih segar dan relevan dengan zaman. Dari kunjungan ke Yordania dan pertemuan dengan pengungsi Palestina, pembicaraan di Taiwan bersama diaspora, hingga pidato nasional tentang kehadiran Indonesia di forum global semua menggambarkan bahwa diplomasi tidak selalu harus bersifat formal dan birokratis.

Diplomasi masa kini adalah diplomasi manusiawi: tentang pertemuan, percakapan, dan pertukaran ide lintas bangsa. Anies Baswedan, lewat langkah-langkahnya di tahun 2025, menunjukkan bahwa Indonesia bisa hadir di dunia bukan hanya melalui kekuasaan, tetapi juga melalui nilai, ilmu, dan empati. Dari sana, lahirlah harapan bahwa diplomasi Indonesia akan terus tumbuh sebagai jembatan antara dunia dan kemanusiaan.

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

 
Copyright © 2025 UniversitasDiBandung.com
All rights reserved